Di Kepri umumnya, dan khususnya di Batam, saat ini kata preman menjadi sesuatu yang sangat sensitif bagi kalangan dunia kewartawanan.
Kesensitifan ini muncul diakibatkan dari sebuah pernyataan yang keluar dari pentolan organisasi kewartawanan yang tua dan besar di Batam.
Dikatakan dalam kalimat yang diunggah sejumlah media online bahwa wartawan yang tidak UKW itu preman, sederhananya seperti itu asumsi yang berkembang.
"Kalau bukan wartawan kompeten bersertifikasi Dewan Pers, itu premanisme berkedok wartawan!".
Inilah kalimat langsung yang merupakan sebuah pernyataan pentolan organisasi wartawan, yang dikutip dari satu media online lokal yang mengangkat isu tersebut.
Pernyataan yang telah terucap dan sudah menjadi penggalan bagian narasi dari sebuah berita yang dikonsumsi publik ini, tentu awalnya mempunyai niat yang baik.
Ucapan ini muncul karana dipicu dari adanya pemberitaan media daring terhadap dunia pendidikan, yang juga sudah menjadi konsumsi publik.
Pemberitaan yang ditayangkan itu, dinilai belum melalui sebuah proses jurnalistik yang kurang baik dan tidak benar. Bahkan, berita yang ditayang sarat dengan melanggar kode etik jurnalistik.
Dan yang menjadi korban dari pemberitaan yang kurang baik ini adalah dunia pendidikan.
Dari produk berita negatif oknum wartawan ini yang menjadi pemantik reaksi organisasi kewartawanan tersebut.
Apalagi, terendus oknum wartawan yang menulis berita tersebut ada niat yang kurang baik (baca: lakukan pemerasan). Bahkan, prilaku wartawan ini sudah sering terjadi dan mengancam sekolah, sehingga membuat trauma.
Tentunya, sajian kalimat, 'kalau bukan wartawan kompeten, itu premanisme berkedok wartawan', sangat tepat ditujukan untuk melawan praktek nakal dari oknum wartawan yang menakut-nakuti dunia pendidikan dengan berita.
Ada beberapa poin yang coba dibahas untuk bisa dijadikan bahan kritikan, saran dan masukan dalam penempatan kata preman didalam dunia kewartawanan.
Hal pertama bahwa sangat menyepakai dan juga menyetujui program Dewan Pers untuk melaksanakan uji kompetensi wartawan. Karena, Uji Kompetensi Wartawan bukanlah sekadar soal lulus atau tidak lulus, tetapi tentang menegakkan marwah profesi jurnalis dalam kerangka etika, tanggung jawab, dan pencarian kebenaran.
Dalam dunia yang semakin bising oleh informasi, kehadiran wartawan kompeten adalah nyala obor yang menuntun masyarakat menuju pemahaman, bukan kebingungan. Dan kita juga berkeyakinan bahwa Uji Kompetensi Wartawan (UKW) adalah salah satu cara memastikan obor itu tetap menyala, di tangan-tangan yang tepat.
Kita mencoba untuk melepaskan terlebih dahulu status wartawan kompeten dan tidak. Secara teori untuk mengatur dan menjaga kebebasan kerja kewartawanan dalam menjalankan proses jurnalistik adalah dengan tetap mengacu pada kode etik jurnalistik.
Namun, kita akan melihat proses seorang yang mengaku seorang wartawan yakni dalam menjalankan proses jurnalistiknya yang dimulai dengan mengumpulkan, mengolah hingga menyajikan data.
Jadi setiap orang yang menyebutkan dirinya seorang wartawan, setelah menjalani proses jurnalistikm lalu dilihat dari hasilnya yang dikonsumsi publik. Ketika, hasil dari proses jurnalistik tersaji di ruang publik ternyata beritanya ugal-ugalan.
Apa yang dimaksud dengan berita ugal-ugalan? Ketika sebuah berita yang tayang melalui proses jurnalistik yang tidak mengikuti, bahkan melabrak kode etik jurnalistik.
Ada 3 poin penting yang menyebabkan berita itu layak dan patut untuk disebut sebagai berita ugal-ugalan, yakni bernuansa provokatif, tendensius dan menghakimi.
Jadi, seseorang yang mengaku wartawan, apakah sudah kompeten ataupun tidak, ketika menjalani proses jurnalistik dan menghasilkan produk jurnalistik yang ugal-ugalan, bisa kita sebut dengan praktek premanisme yang berkedok wartawan.(Dede)
0 Komentar